Mengenal Nama Allah Al-Qariib dan Al-Mujiib
Setiap nama Allah mengandung makna yang agung dan menjadi pintu bagi seorang hamba untuk lebih dekat kepada Rabb-nya. Di antara nama-nama tersebut adalah al-Qariib dan al-Mujiib, yang menunjukkan bahwa Allah selalu dekat dengan hamba-Nya dan mengabulkan doa-doa mereka.
Dalam artikel ini, kita akan membahas dalil-dalil yang menetapkan nama Allah al-Qariib dan al-Mujiib, makna yang terkandung di dalam keduanya, serta dampaknya bagi kehidupan seorang mukmin. Semoga pembahasan ini menumbuhkan rasa harap, ketenangan, dan semangat untuk selalu berdoa serta bersandar kepada Allah dalam segala keadaan.
Dalil nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”
Allah menggabungkan dua nama ini dalam firman-Nya,
وَإِلَىٰ ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًاۚ قَالَ يَٰقَوْمِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُۥۖ هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَٱسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَٱسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوٓا۟ إِلَيْهِۚ إِنَّ رَبِّى قَرِيبٌۭ مُّجِيبٌۭ
“Dan kepada kaum Tsamud (Kami utus) saudara mereka, Shalih. Ia berkata, ‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada sesembahan yang benar bagi kalian selain-Nya. Dia telah menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian makmur di dalamnya. Maka mohonlah ampun kepada-Nya, lalu bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku Mahadekat lagi Maha Mengabulkan (doa).’” (QS. Hūd: 61)
Nama al-Mujiib tidak disebutkan di tempat lain dalam Al-Qur’an selain ayat ini, sedangkan nama al-Qariib disebutkan dalam dua ayat lainnya, yaitu:
Firman Allah Ta‘ālā,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌۭ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِي وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Firman-Nya pula,
قُلْ إِن ضَلَلْتُ فَإِنَّمَا أَضِلُّ عَلَى نَفْسِي وَإِنِ اهْتَدَيْتُ فَبِمَا يُوحِيَ إِلَى رَبِّي إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ
“Katakanlah, ‘Jika aku sesat, maka sesungguhnya aku hanya sesat atas diriku sendiri. Dan jika aku mendapat petunjuk, maka itu karena wahyu yang diwahyukan Rabbku kepadaku. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mahadekat.’” (QS. Saba’: 50) [1]
Kandungan makna nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”
Untuk mengetahui kandungan makna dari nama Allah tersebut dengan menyeluruh, maka perlu kita ketahui terlebih dahulu makna kata “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” secara bahasa, kemudian dalam konteksnya sebagai nama Allah Ta’ala.
Makna bahasa dari “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib”
Qariib adalah ṣifah musyabbahah (sifat tetap) dengan wazan faʿīl (menunjukkan sifat yang terus-menerus atau tetap). Sedangkan Mujiib, adalah isim fāʿil (kata kerja pelaku) dari kata kerja ajaba (أجاب), asal katanya adalah mujwibun (مجوب), di mana huruf wāw diganti dengan yāʼ (sehingga menjadi mujiib). [2]
Asal kata dari Qariib adalah al-qurb (القرب) yang secara bahasa berarti kebalikan dari buʻd (jauh). [3]
Bentuk kedekatan itu ada beberapa macam:
- Kedekatan tempat (qurb al-makān),
- Kedekatan waktu (qurb az-zamān),
- Kedekatan kedudukan atau status (qurb al-manzilah). [4]
Sedangkan asal kata Mujiib adalah al-jaub (الجوب). Ibnu Faris mengatakan tentang makna kata ini,
(جوب) الْجِيمُ وَالْوَاوُ وَالْبَاءُ أَصْلٌ وَاحِدٌ، وَهُوَ خَرْقُ الشَّيْءِ. يُقَالُ جُبْتُ الْأَرْضَ جَوْبًا
“Huruf jim, waw, dan baa membentuk satu akar kata yang memiliki makna dasar ‘melubangi atau membelah sesuatu’. Contohnya: Jubtu al-arḍ jawban (جُبْتُ الْأَرْضَ جَوْبًا) artinya, ‘Aku telah membelah bumi (melintasinya)’.” [5]
Makna “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” dalam konteks Allah
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyebutkan, tentang tafsir firman Allah Ta’ala di surah Hud ayat ke-61,
إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ
beliau mengatakan,
إن ربِّي قريبٌ ممن أخْلَصَ له العبادةَ، ورَغِبَ إليه في التوبةِ، مجيبٌ له إذا دَعاه
“Sesungguhnya Rabb-ku dekat dengan siapa saja yang mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dan kembali bertobat kepada-Nya dengan penuh harap; dan Dia akan mengabulkan permohonannya ketika ia berdoa kepada-Nya.” [6]
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Si’diy mengatakan, “al-Qariib, al-Mujiib” — maksudnya: Dia Ta‘ala adalah al-Qariib (Maha Dekat) dari setiap makhluk. Kedekatan Allah Ta‘ala itu ada dua jenis: (1) kedekatan umum terhadap seluruh makhluk-Nya, melalui ilmu-Nya, pengawasan-Nya, perhatian-Nya, dan penglihatan-Nya yang meliputi segala sesuatu; dan (2) kedekatan khusus terhadap hamba-hamba-Nya yang beribadah kepada-Nya, yang memohon kepada-Nya, dan mencintai-Nya.
Ini adalah bentuk kedekatan yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal, tetapi dapat dikenali melalui dampaknya — seperti kelembutan-Nya kepada hamba-Nya, perhatian-Nya, taufik dan bimbingan-Nya.
Di antara dampaknya adalah: Allah mengabulkan doa para pemohon, dan menerima tobat para hamba yang kembali kepada-Nya.
Maka, Allah adalah al-Mujiib — Maha Mengabulkan — baik pengabulan secara umum untuk siapa pun yang berdoa kapan pun dan di mana pun mereka berada, dalam keadaan seperti apa pun, sebagaimana telah dijanjikan-Nya secara mutlak.
Dan Allah juga al-Mujiib secara khusus bagi mereka yang menjawab seruan-Nya dan tunduk kepada syariat-Nya. Allah juga al-Mujiib bagi orang-orang yang berada dalam kondisi darurat, yang telah putus harapan dari makhluk, lalu bergantung sepenuhnya kepada Allah dengan penuh harap, takut, dan cinta. [7]
Apa yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah tentang kedekatan dan penyertaan-Nya tidaklah bertentangan dengan ketinggian dan keagungan-Nya, karena tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah Subḥānahu wa Ta’ala, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [8]
Konsekuensi dari nama Allah “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi hamba
Penetapan nama “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” bagi Allah Ta’ala memiliki banyak konsekuensi, baik dari sisi sifat dan pengkhabaran terhadap Allah, maupun dari sisi hamba. Berikut ini adalah beberapa konsekuensi dari sisi hamba:
Beriman bahwa “Al-Qariib” dan “Al-Mujiib” ini termasuk Asmaul Husna
Seorang hamba hendaknya meyakini bahwa Al-Qarīb dan Al-Mujīb termasuk dalam Al-Asmaul Husna (nama-nama Allah yang paling baik), sebagaimana telah disebutkan dalil-dalilnya.
Mendekatkan diri kepada Allah
Semakin sempurna seorang hamba dalam menjalani tingkatan-tingkatan ubudiyah (peribadahan), maka ia akan semakin dekat kepada Allah Ta‘ala.
Dalam Shahihain, Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يقول الله تعالى: مَنْ تقرَّب إلي شبراً؛ تقرَّبْتُ إليه ذِراعاً، ومَنْ تقرَّب إليَّ ذِراعاً؛ تقرّبتُ إليه باعاً، ومَنْ أتَاني يمشي؛ أتَيته هَرْولةً
“Allah berfirman: Barang siapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta; barang siapa mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa; dan barang siapa datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (HR. Bukhari dan Muslim) [9]
Semakin sempurna ubudiyah seseorang, semakin dekat pula ia kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah adalah Maha Baik, Maha Pemurah, Maha Pemberi kebaikan. Ia memberikan kepada hamba-Nya sesuai kadar kebutuhan dan kesungguhan hamba tersebut. [10]
Memperbanyak doa dan tidak berputus asa darinya
Terdapat banyak hadis dalam sunah Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam yang mendorong untuk memperbanyak doa, dan menjelaskan bahwa Allah Tabāraka wa Ta‘ālā mengabulkan doa-doa orang yang berdoa dan memberikan kepada siapa yang memohon kepada-Nya.
Disebutkan dalam hadis riwayat Ahmad, al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, al-Hakim, dan lainnya dari Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallāhu ‘anhu, Nabi ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما من مسلم يدعو بدعوة ليس فيها إثم ولا قطيعةُ رَحِمٍ إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث: إما أَنْ تُعَجَّل له دعوته، وإما أن يَدَّخِرَها له في الآخرة، وإما أن يصرف عنه من السُّوء مثلها
“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan satu doa yang tidak mengandung dosa atau memutuskan tali silaturahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari tiga hal: (1) Dikabulkan segera doanya, (2) Disimpan untuknya di akhirat, atau (3) Dihindarkan dari keburukan yang sebanding dengannya.”
Mereka bertanya, “Kalau begitu, kita akan memperbanyak (doa)?”
Beliau bersabda,
الله أكثر
“Allah lebih banyak (pemberiannya).” (at-Targhib wa at-Tarhib, no. 1633, sahih) [11]
Semoga pemahaman yang benar tentang kedua nama Allah tersebut (Al-Qariib dan Al-Mujiib) menguatkan keyakinan kita kepada-Nya, mendorong kita untuk memperbanyak doa dan ibadah, menumbuhkan harapan dan rasa takut hanya kepada-Nya, serta menjauhkan kita dari syirik dan segala bentuk ketergantungan kepada selain-Nya. Āmīn.
Baca juga: Mengenal Nama Allah “Al-Ghafuur”
***
Rumdin PPIA Sragen, 28 Rabiul awal 1447
Penulis: Prasetyo Abu Ka’ab
Artikel Muslim.or.id
Referensi utama:
- Ibn Faris, Abu al-Husain Ahmad bin Zakariya. Maqayis al-Lughah. Tahqiq dan revisi oleh Anas Muhammad asy-Syami. Cetakan Pertama. Kairo: Dar al-Hadith, 1439.
- Al-Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbahul Munir fi Gharib as-Syarhil Kabir. Cetakan Pertama. Damaskus: Darul Faihaa, 2016.
- Al-Badr, Abdur Razzaq. 2015. Fiqhul Asma’il Husna. Cet. ke-1. Mesir: Dar ‘Alamiyah.
- An-Najdi, Muhammad Al-Hamud. 2020. An-Nahjul Asma fi Syarhil Asma’il Husna. Cet. ke-8. Kuwait: Maktabah Imam Dzahabi.
Catatan kaki:
[1] Fiqhul Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 282.
[2] Al-Bayan fi Tasrif Mufradat al-Qur’an ‘ala Hamisy al-Mushaf al-Sharif, hal. 228.
[3] Maʻjam Maqāyīs al-Lughah, 5: 80.
[4] at-Taʻlīq al-Asnā, hal. 273.
[5] Maʻjam Maqāyīs al-Lughah, 1: 491. Lebih detail lagi, lihat Al-Miṣbāḥ al-Munīr fī Gharīb al-Syarḥ al-Kabīr, 1: 113.
[6] Tafsīr at-Ṭabarī, 12: 454.
[7] Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 949. Lihat juga penjelasan lebih rinci dalam Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 282-283.
[8] Lihat at-Ta‘liq al-Asnā, hal. 273–278.
[9] Lihat Majmū‘ Fatāwā Ibn Taimiyah (5: 465–467) tentang penjelasan beliau terhadap hadis ini.
[10] Disarikan dari an-Nahj al-Asma, hal. 512–519.
[11] Fiqh al-Asmā’ al-Ḥusnā, hal. 285
Artikel asli: https://muslim.or.id/109949-mengenal-nama-allah-al-qariib-dan-al-mujiib.html